Senin, 15 Juni 2015

TUGAS PKN FILM



AYAT-AYAT ADINDA
Poster film Ayat-Ayat Adinda
Jumat, 12 Juni 2015 pukul 12.30 WIB saya, Tia Febrita, Almira (teman kami) dan anggota dari kelompok saya yang terdiri dari Agung Satria Arfana, Encep Suhendar, Ines Adi Putra, Rizky Nuzul, Royman Simarangkir, dan Siti Hartinah pergi ke 21 Depok untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru mata kuliah Kewarganegaraan dengan menonton film Indonesia, dan kami memilih film Ayat-Ayat Adinda. Kami pergi ke bioskop dengan menaiki angkot D11 dengan ongkos Rp 3.000. Sesampainya di sana, kami segera membeli tiket dengan harga Rp 30.000/orang. Kami mendapatkan tempat duduk di barisan E teater 3. Suasana di bioskop saat itu lumayan ramai karena esok hari adalah weekend. Setelah menunggu sekitar 15 menit dan berfoto, kami dipersilahkan masuk ke dalam teater 3, kami pun masuk. Berikut merupakan foto-foto yang kami ambil.
Tiket film Ayat-Ayat Adinda

Kelompok 4 yeay!!!

Bersama teman kami, Almira










Film Ayat-Ayat Adinda adalah film berjenis drama religi yang disutradarai oleh Hestu Saputra dan diproduseri oleh Raam Punjabi, Hanung Bramantyo, Putut Widjanarko, dan Salman Aristo. Naskah film tersebut ditulis oleh Jujur Prananto. Film yang dirilis pada tanggal 11 Juni 2015 di seluruh bioskop di Indonesia itu diperankan oleh artis dan aktor cilik berbakat seperti Tissa Biani Azzahra, Badra Andhipani, dan Alya Shakila Saffana dan juga aktor senior seperti Surya Saputra dan Cynthia Lamusu. Film Ayat-Ayat Adinda bercerita tentang seorang gadis cilik bernama Adinda (Tissa Biani) yang memiliki bakat menyanyi dengan suara merdu dan ingin menjadi salah satu anggota tim qasidah di sekolahnya. Namun ayahnya, Faisal (Surya Saputra) menentang hal tersebut. Faisal ingin agar Adinda fokus belajar karena di sekolah, Adinda tidak terlalu pintar. Selama ini keluarga Adinda tidak pernah menetap lama di satu tempat. Mereka sering berpindah-pindah dan dikucilkan dimanapun mereka tinggal. Perlahan Adinda mulai paham, hal itu disebabkan karena keluarga Adinda dianggap sesat walaupun Adinda sendiri tidak mengerti apa itu sesat. Adinda bertekad pada dirinya sendiri untuk menjadikan keluarganya dapat dihormati dan dibanggakan oleh orang lain dengan mengikuti lomba MTQ. Akan tetapi, keinginan tersebut dilarang oleh ayahnya karena ayahnya tidak ingin keluarga mereka bertingkah yang macam-macam agar tidak menjadi sorotan masyarakat, karena apabila mereka salah sedikit dalam bertingkah, mereka dapat terusir dari kampung dan keselamatan keluarga mereka terancam. Larangan ayahnya tersebut tidak membuat Adinda mengurungkan niatnya untuk mengikuti lomba MTQ karena tekad Adinda sudah bulat, ia ingin membuat keluarganya terhormat dan tidak dianggap sesat lagi walaupun ia harus berbohong kepada ayahnya.
Menurut saya, film Ayat-Ayat Adinda memiliki kekurangan yang terlihat pada kata sesat yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar keluarga Adinda. Hal tersebut membingungkan karena saya sebagai penonton tidak tahu agama sesat yang dimaksud itu seperti apa dan dinilai dari segi apa. Hal yang membingungkan lainnya adalah adegan dimana Adinda akhirnya disetujui begitu saja oleh ayahnya mengikuti lomba MTQ yang selama ini dijalananinya secara diam-diam. Saat adegan itu, saya rasa film ini kekurangan durasi untuk lebih banyak menyempurnakan alur ceritanya. Kekurangan lainnya dari film ini terlihat pada Adinda yang sering berbohong kepada keluarganya sampai mengucap sumpah Tuhan untuk tidak mengulanginya, tetapi tetap saja Adinda berbohong lagi. Apabila adegan tersebut ditonton oleh anak-anak di bawah umur tanpa pengawasan orangtua, maka bisa menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak.
Selain kekurangan, film Ayat-Ayat Adinda juga memiliki banyak kelebihan. Kelebihan utama yang dimiliki film ini adalah suara merdu Adinda yang diperankan oleh Tissa Biani dalam melantunkan ayat-ayat Al-Quran ternyata adalah suara asli milik Tissa dan bukan samaran. Tokoh Adinda adalah kebanggaan bagi umat muslim karena di era modern ini ternyata masih ada seorang anak yang berkemauan untuk mempelajari dalam melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan memanfaatkan suara emas miliknya. Tokoh Adinda bisa menjadi contoh baik untuk para anak-anak di seluruh dunia yang banyak tercemar dan meninggalkan sunah rasul seiring dengan perubahan dunia yang semakin modern. Kelebihan dari film ini adalah film ini mampu menyampaikan pesan-pesan kepada para penontonnya untuk tetap tegar dan semangat walaupun dalam keadaan yang sangat terpuruk. Film ini memberikan pesan kepada penontonnya untuk mampu bersikap sabar dan pantang menyerah serta tidak tinggal diam dalam menghadapi cobaan. Kelebihan lainnya terletak pada bahasa yang digunakan dalam film tersebut. Pada film ini, logat bahasa khas Yogyakarta sangat dimunculkan, sehingga penonton percaya bahwa film ini dilakukan oleh orang Jogja dan berlokasi di Yogyakarta. Selain itu, pengambilan gambar dan penyuntingannyapun termasuk sangat bagus dalam kualitas visualnya karena film ini membutuhkan lima produser saat memproduksinya.
Saran saya untuk film ini adalah agar lebih diperjelas lagi alur cerita dan masalah yang terdapat dalam film tersebut, seperti halnya lebih diperjelas lagi masalah-masalah yang terjadi pada keluarga Adinda sehingga mereka selalu berpindah-pindah tempat tinggal.
 Saat nonton film Ayat-Ayat Adinda di dalam teater 3, saya melihat sekeliling dan ternyata tidak banyak orang yang menonton film ini padahal teater sebelah yang menampilkan film Insidious 3 dan Jurassic World (film buatan luar negeri) sangat ramai penontonnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa film Indonesia kurang diminati oleh masyarakat Indonesia.

Menurut saya, alasan film Indonesia kurang diminati dibandingkan film luar adalah karena terkadang film Indonesia tidak terlalu kuat memperlihatkan masalah yang dihadapi dalam film tersebut sehingga film menjadi antiklimaks dan juga terkadang masalah yang di hadapi dapat ditebak oleh penonton sehingga penonton malas untuk menonton film tersebut.

TUGAS ARTIKEL 10



Hari Ini
Oleh: Desta dan Tia

Hari ini, sang mentari bangun dari tidurnya
Memberikan senyuman hangat kepada dunia dan seisinya
Seorang bayi masih tertidur lelap di dekapan sang bunda
Dan sang ayah yang selalu setia di sampingnya.

Hari ini, seorang anak kecil dan temannya berlarian di taman
Dengan senyum riang di wajahnya
Mengabaikan semua hal di dekatnya
Termasuk kerikil yang berada di depannya
Aduh! Anak kecil itu tersandung
Sesaat senyumnya hilang
Sampai seorang temannya datang
Mengulurkan tangan dengan senyuman hangat
Anak kecil itu menyambutnya, lalu tersenyum.

Hari ini, seorang lelaki dengan gagahnya berdiri
Menunggu datangnya sang putri
Ketegangan dan kebahagiaan tercampur menjadi satu
Yang terlihat jelas di wajahnya
Karena hari ini adalah saatnya
Akhirnya sang putri datang dengan anggunnya
Kebahagiaan terlihat jelas di dirinya
Mengingat hari ini adalah saatnya
Hari ini adalah hari dimana kedua insan tersebut bersatu
Mengucap janji suci untuk sehidup semati, sampai nanti.

TUGAS ARTIKEL 9

Kado untuk Sahabat
Hai, namaku Nakila. Orang-orang biasa manggil aku Kila. Aku adalah salah satu siswi SMA favorit di Jakarta, dan hari ini adalah hari kelulusanku. Aku senang bercampur sedih. Senang karena akhirnya aku tidak lagi menjadi anak SMA yang mempunyai banyak tugas, dan sedih karena Dina tidak hadir disini bersamaku. Ya, Dina adalah sabahat ku, sahabat terbaikku. Kami bersahabat sejak kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Alasannya sangat sederhana, kami sama-sama menyukai grup vocal asal Irlandia, Westlife.
***
            Hari ini aku pergi ke sekolah membawa handphone baru ku. Dan sesuai tradisi dikelasku, anak-anak yang membawa handphone akan saling bertukar handphone untuk melihat-lihat gallerynya. Aku bertukar handphone dengan Dina. Ketika sedang asik melihat gallery miliknya, tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku. “KILA KAMU SUKA WESTLIFE JUGA???! AAAH KITA SAMAAN!! AKU JUGA SUKA WESTLIFE!”, Dina teriak tepat dibelakangku. Aku yang sebal karena di teriaki seperti itu akhirnya membalas, “IYA DINA AKU SUKA TAPI KAMU NGOMONGNYA JANGAN TERIAK-TERIAK DONG AKU KAN JADI KAGET!!”, Dina meminta maaf karena telah mengagetkanku. Sejak saat itu, kami jadi sering mengobrol dan itulah awal dari persahabatan kami.
Semakin hari kami semakin dekat. Hingga pada akhirnya kami harus berpisah ketika lulus SD. Aku  memutuskan untuk bersekolah di SMPN 30 dan Dina di SMPN 111. Walaupun berbeda sekolah, itu tidak membuat kami semakin jauh, melainkan lebih dekat. Kami sering sms-an, chatting-an, dan juga ketemuan. Obrolan kami tidak hanya seputar Westlife, sekarang sudah berkembang menjadi obrolan anak SMP yang sedang labil-labilnyanya. Waktu cepat berlalu, tak terasa aku sudah melewati Ujian Nasional untuk yang ke-2 kalinya. Aku bingung harus melanjutkan sekolah kemana. Sebenarnya aku ingin sekali masuk sekolah SMAN 78, tetapi niat itu dihanguskan oleh si Dina ketika ia bermain ke rumahku dan berkata, “...udah gak usah bingung Kil. SMAN 8 juga gak kalah bagus kok sama 78. Nih ya Kil, kalo lo masuk 8, kita bisa bareng! Berangkat bareng, pulang bareng, main bareng. Tuh, seru kan!”. Aku akhirnya tergoda juga, lalu aku bilang ke orang tua ku kalau aku ingin melanjutkan sekolah ke SMAN 8, alhamdulillah mereka mengizinkan.
***
Untuk menjadi siswi SMAN 8 ternyata tidak mudah. Aku harus melewati beberapa tes sebelumnya. Hari ini dilaksanakannya Tes Masuk SMAN 8 Jakarta. Aku dan Dina sudah siap untuk menghadapi tes ini. Kami berharap kami dapat menjadi siswi disekolah ini bersama-sama. Dan akhirnya harapan kami dikabulkan. Tanggal 5 Juli 2011, kami resmi menjadi siswi SMAN 8 Jakarta dan sebelumnya kami juga menerima kabar baik. Ya, kami lulus Sekolah Menengah Pertama dengan nilai yang memuaskan.
***
Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah di SMAN 8. Dan sesuai dengan rencana kami waktu itu, Aku dan Dina berangkat ke sekolah bersama-sama. Sungguh menyenangkan. Hari-hariku menjadi anak SMA berjalan begitu cepat dan melelahkan. Sekarang aku sudah kelas 12. Ketika sedang belajar di kelas, tiba-tiba Dina datang dan berteriak dengan hebohnya, “KILAAAA! WESTLIFE MAU NGADAIN MEET AND GREET DISINI NANTI DESEMBER!! AYO KITA BELI TIKETNYA KIL!!!”. Aku yang sedang belajar langsung saja menutup buku pelajaranku dan berteriak senang bersama Dina. “YEAYYY!”.
***
Malamnya aku mendapat informasi kalau ada suatu situs yang mengadakan quiz dan hadiahnya adalah 2 tiket Meet and Greet bersama Westlife. Aku pun langsung memberi tahu Dina dan kami sepakat untuk mengikuti quiz itu. Dan alhamdulillah kami memenangkan quiz tersebut.
Tepat 5 hari sebelum Meet and Greet itu berlangsung, Aku janjian dengan Dina untuk pergi ke suatu toko souvenir untuk membeli cinderamata untuk para personel Westlife. Di perjalanan, Dina mengalami kecelakaan. Motornya ditabrak oleh mobil yang tidak bertanggung jawab. Dina segera dibawa ke rumah sakit, tetapi kondisi Dina sangat parah. Ia tak sadarkan diri.
***
Hari ini seharusnya menjadi hari yang sangat indah untuk Aku dan Dina, karena hari ini kami akan bertemu idola kami. Tetapi ternyata justru kebalikannya. Sudah 5 hari Dina tidak sadarkan diri. Sebenarnya aku tidak ingin mendatangi acara Meet and Greet itu, tetapi aku teringat ucapan Dina, “Kil, kalau nanti gue gak sempet ketemu Westlife, gue titip salam aja ya buat mereka. Gue juga mau lo fotoin mereka buat gue, oke?” yang saat itu hanya aku iya kan. Karena tidak ingin mengecewakan Dina, aku pun berangkat ke acara Meet and Greet itu dengan membawa sehelai karton yang bertuliskan “semoga cepat sembuh, Dina!:)” yang tadi aku buat dirumah. Sesampainya ditempat, aku dan seluruh peserta Meet and Greet disambut hangat oleh Westlife. Tak lupa dengan pesan Dina, sebelum acara berakhir, aku memberanikan diri untuk meminta para personel Westlife untuk menyanyikan sebuah lagu untuk Dina dan meminta foto bersama mereka dengan memegang tulisan yang tadi aku buat. Tak kusangka, mereka menyetujuinya. Ketika acara berakhir, aku segera pulang karena sudah tidak sabar untuk menunjukkan foto dan rekaman itu kepad Dina. Di perjalanan aku senyam-senyum sendiri karena akhirnya aku dapat bertemu idolaku. Ternyata mereka sangat baik dan ramah.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju kamar Dina. Seperti hari-hari sebelumnya, Dina masih tak sadarkan diri. Aku berinisiatif untuk memainkan rekaman tersebut dengan harapan Dina akan bangun. Harapanku dikabulkan. Setelah beberapa detik rekaman itu dimainkan, Dina sadar dan tersenyum kepadaku. Aku juga menunjukkan foto ku bersama idola kami, Westlife. Dina tersenyum lagi dan mengatakan, “Terimakasih ya Kila, lo memang sahabat terbaik gue. Gue titip Orang Tua gue ya :-)”. Sesaat setelah itu, Dina tidur untuk selama-lamanya.

Selesai

Cerpen di atas adalah cerpen yang saya buat ketika saya kelas duduk di bangku SMA, tepatnya saat saya kelas 10.

TUGAS ARTIKEL 8



Menilai Kejujuran
Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan. Inflasi nilai, mencontek selama ujian nasional (UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks Integritas Sekolah (IIS) bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak! Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait kebijakan UN, yaitu IIS. Indeks ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi perguruan tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.
Di kalangan para ahli psikometrik, konsep indeks integritas ini bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali Bird (1927, 1929), Crawford (1930), Dickenson (1945), dan Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian dikembangkan banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997, 2006), dan Sotaridona dan Meijer (2002, 2003).
Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas. Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson, dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu menggunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain, seperti distribusi jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string) (Hanson et al dan Angoff, 1974) dan acak (random).

Integritas tes
Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.
Indeks integritas yang menggunakan multivariabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary dan Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya, menggunakan indeks multivariabel untuk menentukan level integritas. Namun, penggunaan multivariabel ini pun masih banyak diperdebatkan para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektivitasnya. Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan.
Indeks Integritas Tes (IIT) kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang IIS, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (UN) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisasi hasil indeks integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah.

Rahasia?
Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, tetapi hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan perguruan tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik? IIS dipakai untuk memberi tahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan orangtua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.
Apabila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan menggunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara. Publik memiliki hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orangtua.
Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yangperlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur, dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas. Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah. Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan; tujuan, konsep dan metodenya dipertanyakan; dan sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik. IIS bukan hal fundamental yang dibutuhkan bangsa ini.

Sumber : http://widiyanto.com/menilai-kejujuran/#more-623