Tema: Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
Kue
lapis. Ada apa dengan kue lapis? Mengapa saya membahas kue lapis???
Teman-teman,
kalian tentu pernah melihat kue lapis, yaitu kue yang tersusun dari beberapa
lembaran kue lalu ditumpuknya menjadi satu kesatuan. Derajat seseorang dapat dianalogikan
dengan kue lapis, semakin banyak lapisannya, maka semakin tinggi pula kue
tersebut, dengan kata lain, seseorang yang memiliki lebih banyak kemampuan atau
kelebihan, maka semakin tinggi pula derajat orang tersebut. Akan tetapi,
kelebihan apa sajakah itu? Di dalam suatu masyarakat, pasti ada sesuatu yang
paling dihargai oleh masyarakat. Bagi masyarakat agraris, tanah adalah sesuatu
yang paling dihargai, bagi masyarakat industri, uang adalah sesuatu yang paling
dihargai. Pada masyarakat kota, pendidikan merupakan hal yang paling dihargai.
Sumber-sumber seperti uang, tanah, dan pendidikan akan menyebabkan adanya
pelapisan. Jadi, mereka yang memiliki kelebihan berupa uang, tanah, ataupun pendidikan
tinggi akan menempati lapisan atas suatu
masyarakat.
Pelapisan
sosial di kalangan masyarakat Indonesia sudah terjadi sejak dulu oleh
masyarakat yang beragama hindu yang disebut dengan kasta sosial. Dalam agama hindu,
istilah Kasta disebut
dengan Warna yang berasal dari bahasa Sansekerta vrn yang berarti “memilih (sebuah
kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai
dengan pekerjaannya. Maksudnya adalah meskipun seseorang lahir dalam
keluarga Sudra (budak),
apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta,
maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan).
Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat
setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Kasta
sosial terbagi menjadi empat, yaitu:
1.
Brahmana, yaitu golongan pendeta dan rohaniwan dalam
suatu masyarakat. Golongan Brahmana adalah golongan yang paling dihormati.
2.
Ksatria, yaitu golongan
para bangsawan yang menekuni bidang pemerintahan atau administrasi negara. Selain
itu, seseorang yang ahli dalam bidang militer dan mahir menggunakan senjata
juga termasuk ke dalam kasta ksatriya. Kewajiban golongan Ksatriya adalah
melindungi golongan Brahmana, Waisya,
dan Sudra.
3.
Waisya, yaitu golongan
para pedagang, petani, nelayan,
dan profesi lainnya yang termasuk bidang perniagaan seperti makanan, pakaian,
harta benda, dan sebagainya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok
(sandang, pangan, papan) golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra.
4.
Sudra, yaitu
golongan para pelayan yang membantu golongan Brahmana, Kshatriya,
dan Waisya agar
pekerjaan mereka dapat terpenuhi.
Sistem
kasta di Indonesia dapat ditemukan di Bali, namun pengkastaannya tidak terlalu kaku
dan tertutup seperti di India. Pengkastaan di Bali disebut dengan wangsa.
Adapun stratifikasi sosialnya adalah sebagai berikut.
a.
Brahmana,
merupakan tingkatan kasta tertinggi di Bali. Kasta ini diduduki oleh para
pemuka agama dan diberi gelar Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk
perempuan.
b.
Ksatria,merupakan
tingkatan kedua setelah brahmana. Kasta ini diduduki oleh para bangsawan dan
diberi gelar Cokorda, Dewa, atau Ngahan.
c.
Waisya,
merupakan tingkatan ketiga setelah ksatria. Kasta ini diduduki oleh para
pedagang dan diberi gelar Bagus atau Gusti.
d.
Sudra, merupakan
tingkatan paling rendah dalam sistem kasta di Bali. Kasta ini diduduki oleh
para pekerja atau buruh dan diberi gelar Pande, Kbon, atau Pasek.
Di
Indonesia, tepatnya Jakarta, masih banyak permasalahan tentang pelapisan sosial
dan kesamaan derajat. Di Jakarta, masih banyak orang yang lebih menghargai dan
lebih senang bergaul dengan Si Kaya
(seseorang yang memiliki harta lebih) daripada mereka yang memiliki harta
pas-pasan atau bahkan kurang. Akibatnya, banyak orang yang akan melakukan
apapun demi mendapatkan uang yang banyak sehingga akhirnya mereka akan
dihargai. Ibu saya pernah bercerita kalau dahulu ada tetangganya yang sampai
rela melakukan hal mistis demi menjadi orang kaya, karena ia menganggap bahwa
orang kaya akan lebih dihargai di Jakarta dan di kampungnya dan ia juga
menganggap bahwa urusan akhirat adalah urusan belakangan.
Saya
sedih mendengar kisah diatas, karena menurut saya, kekayaan hatilah yang paling
penting. Percuma apabila seseorang memiliki harta yang berlimpah tetapi
perilakunya buruk, karena nantinya perilaku buruk tersebut akan membawa
kehancuran pada hidup dan juga karirnya. Saran saya kepada kalian yang membaca
blog ini, tolong jangan menilai orang dari hartanya, tetapi nilailah orang
tersebut dari perilakunya sehari-hari. Dengan begitu, semua orang akan hidup
dengan tenang dan damai tanpa harus merasa takut dikucilkan karena harta yang
dimilikinya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar