Jumat, 03 Juni 2016

KASUS PEMALSUAN MEREK, ADIDAS MENANG LAGI


Jakarta - Pemegang merek adidas AG menang di Pengadilan Jakarta Pusat terkait kasus pelanggaran merek 3-STRIP miliknya. Kemenangan ini bukan pertama kalinya bagi adidas di Indonesia dalam kasus serupa. Pada tanggal 4 Mei 2012, adidas mendapatkan putusan penghentian pelanggaran dan uang paksa serta biaya perkara dari Zul Achyar B.H. Bustaman sebagai tergugat atas pelanggaran merek 3-STRIP di Indonesia. Perkara ini terdaftar dengan No. 111/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Pihak adidas mengajukan gugatan ini berdasarkan Undang-undang Merek No. 15/2001, yakni berdasarkan ketentuan tentang pelanggaran merek, khususnya atas penggunaan secara tanpa hak atas merek yang menyerupai sehingga menimbulkan kebingungan. Demikian disampaikan kuasa hukum adidas, Juliane Sari Manurung dari Suryomurcito & Co dalam keterangan tertulisnya yang diterima detikFinance, Kamis (21/6/2012). "Dasar dari kasus ini adalah garis/ strip yang ada pada sepatu Tergugat terlihat sangat mirip dengan merek 3-STRIP milik adidas sehingga konsumen akan mudah terkecoh karenanya. Hukum Merek di Indonesia melindungi hal semacam ini, sejalan dengan peraturan internasional seperti Perjanjian WTO. Adidas tentunya akan mengambil tindakan hukum untuk melindungi hak-haknya dan pengadilan niaga telah membuat keputusan yang tepat,” katanya.
Merek adidas 3-STRIP tidak hanya terdaftar di Indonesia, tetapi juga telah diakui sebagai merek terkenal pada perkara lainnya di Indonesia. Misalnya pada kasus No. 13/Merek/2010/PN.JKT.PST diantara adidas melawan Kim Sung Soo pada Pengadilan Niaga Jakarta, putusan tanggal 14 Juni 2010 serta di banyak negara lainnya di luar negeri. Sidang pertama dari Gugatan Pelanggaran Merek dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2012 dan keputusan dibacakan di Pengadilan Niaga Jakarta pada tanggal 4 Mei 2012. Majelis hakim diketuai oleh Dr. Sudharmawatiningsih S.H., M.H.
Adidas berdiri sejak tahun 1949 yang berarti bahwa merek 3-STRIP telah digunakan sejak tahun 1949. Produk adidas telah diproduksi secara luas dan dijual di seluruh Indonesia. Adidas juga telah memenangkan kasus yang serupa untuk melindungi merek 3-STRIPnya di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Belgia, Yunani dan China.



Kesimpulan:
Sikap dari pihak Adidas benar karena telah menindaklanjuti kasus tersebut sebab apabila kasus tersebut didiamkan akan merugikan pihak Adidas dan menguntungkan pihak lawan. Para konsumen produk adidas juga akan merasa bingung dan akhirnya merasa dirugikan apabila produk yang mereka beli bukanlah produk yang asli, melainkan produk yang hanya memiliki kemiripan tampilannya. Saya berharap, para pengusaha di luar sana lebih kreatif dalam membuat suatu produk karena apabila hanya meniru, tentu akan menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang, atau apabila ingin memakai simbol atau nama yang hampir serupa sebaiknya izin terlebih dahulu kepada pihak yang terkait. Kasus di atas tidak baik karena melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a.       mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b.      mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya.
c.       Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.      Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a.       Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b.      Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
c.       Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.


Sumber:

PERLINDUNGAN MEREK SECARA OFENSIF DALAM KASUS KOPITIAM


Sengketa merek Kopitiam mungkin menjadi salah satu sengketa merek paling besar di Indonesia. Sengketa ini melibatkan banyak sekali pihak terutama para pemilik restoran kopitiam atau coffee shop. Kasus ini bermula sejak dikeluarkannya pengumuman tentang kepemilikan merek KOPITIAM di media massa oleh Abdul Alex Soelystio. Pengumuman ini pada intinya memberikan peringatan kepada anggota-anggota Perhimpunan Pengusaha Kopi Tiam Indonesia (PPKTI) untuk menurunkan papan merek atau tidak lagi menggunakan merek Kopitiam karena Abdul Alex Soelystio adalah pemegang hak ekslusif yang telah diperolehnya sejak tahun 1996 dan telah diperpanjang kembali pada 2006. Oleh karena itu, pemakaian merek Kopitiam ini dapat dikenakan tindak pidana merek.
Pengumuman tersebut menyebabkan banyak pemilik restoran kopitiam yang mengganti namanya, tetapi juga tidak sedikit yang tidak mau menggantinya, bahkan ada beberapa pihak terutama pemilik restoran/ cafe Kopitiam yang malah menggugat Menkum HAM sebagai pihak yang mengeluarkan izin merek itu dan juga menggugat Abdul Alex atas merek Kopitiam. Salah satunya adalah Pamin Halim, pemilik Kok Tong Kopitiam. Menurutnya, penulisan ‘Kok Tong Kopitiam’ sangat jauh berbeda dengan penulisan merek ‘KOPITIAM’ ala Abdul Alex. Meski berbeda jauh, tetapi MA di tingkat kasasi tetap menyatakan kedai kopi ‘Kok Tong Kopitiam’ memiliki persamaan pada pokoknya dengan kedai kopi ‘KOPITIAM’.
Kemudian giliran Phiko Leo Putra sebagai pemilik Lau’s Kopitiam yang melakukan gugatan ke Alex. Dalam argumennya, Phiko salah satunya merujuk kepada keputusan Intelectual Poperty Office of Singapore (Kantor HAKI Singapura) dalam perkara Pasific Rim Industries Inc melawan Valentinin Globe BV. Dalam pertimbangannya, Dewan Pariwisata Singapura mengakui bahwa bahasa adalah hidup dan secara konstan berkembang dalam negara yang memiliki ras sangat banyak seperti Singapura yang kaya akan dengan berbagai bahasa dan budaya. “Kopitiam diakui sebagai kata lokal baru yang terbentuk dari habungan dan kombinasi tempat makan yang memiliki kios minum yang menyediakan minuman serta kedai yang menyediakan makanan,” ujar Dewan Pariwisata Singapura, akan tetapi apa daya, gugatan Phiko juga kandas menyusul nasib Pamin Halim. Majelis PK yang diketuai Syamsul Ma’arif PdD dengan anggota Prof Dr Takdir Rahmadi dan Hamdi menyatakan Lau’s Kopitiam memiliki persamaan dengan KOPITIAM dan mengadili Phiko harus mengganti merek kedainya. Menariknya, Syamsul dalam putusan Pamin Halim adalah hakim agung yang tidak setuju KOPITIAM sebagai kata yang bisa diberikan hak ekslusif.


Terdapat beberapa pihak yang juga melawan Alex, yaitu QQ Kopitiam dan Perhimpunan Pengusaha Kopi Tiam Indonesia (PPKTI). Alex menang sehingga QQ Kopitiam harus mengganti namanya dan tidak boleh menggunakan merek Kopitiam lagi walaupun sebelumnya QQ Kopitiam sudah menghapus kata Kopitiam dari restoran-restoran mereka, selain itu Perhimpunan Pengusaha Kopi Tiam Indonesia (PPKTI) juga harus menerima kekalahannya pasalnya, majelis hakim memutuskan untuk tidak menerima gugatan PPKTI dan menerima eksepsi Abdul Alex. Majelis hakim berpijak pada eksepsi tergugat yang menilai gabungan pengusaha warung Kopi Tiam tak memiliki ‘legal standing‘ karena PPKTI hanya dapat menunjukkan akta pendiriannya yang didirikan pada 3 Mei 2011, namun akta ini belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 1653-1665 KUH Perdata.
Berdasarkan kasus diatas, banyak pihak yang berpendapat bahwa seharusnya kata KOPITIAM tidak bisa digunakan sebagai sebuah merek karena merupakan sebuah kata yang generik, selain itu banyak juga pihak yang menyebut bahwa Alex terlalu kapitalis dengan mempertahankan merek KOPITIAM eksklusif untuk dia. Tetapi terlepas dari itu semua, terbukti bahwa perlindungan sebuah merek sangatlah penting dalam membangun usaha yang sustainable atau berkelanjutan. Memang kita bisa dengan mudah mengganti merek dagang kita setiap saat, tetapi perjuangan yang telah kita lakukan dalam membangun sebuah merek akan jadi sia-sia apabila kita mengganti merek kita.
Berdasarkan kasus diatas, kita dapat melihat bahwa perlindungan sebuah merek juga dapat berfungsi secara defensif atau pertahanan maupun ofensif atau penyerangan. Alex dapat menggunakan perlindungan merek Kopitiam secara ofensif pada kasus ini dengan mengalahkan pemilik usaha kopitiam lainnya sehingga Alex dapat memonopoli merek KOPITIAM.



Kesimpulan:
Berdasarkan kasus di atas, pihak yang menang dalam pengadilan adalah pihak yang mendaftarkan terlebih dahulu atau yang lebih cepat mendaftarkan merek dagangnya, yaitu Abdul Alex Soelystio, pemilik merek KOPITIAM. Merek KOPITIAM sendiri sebenarnya banyak dipakai secara bebas di Indonesia, namun semenjak Abdul Alex Soelystio mendaftarkan kata kopitiam sebagai merek dagangnya, maka pihak-pihak yang memakai kata tersebut harus mengganti atau menghapus kata kopitiam dari tokonya. Hal tersebut didukung oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a.       mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b.      mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya.
c.       Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.      Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a.       Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b.      Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
c.       Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Berdasarkan Undang-Undang di atas, pihak-pihak yang menggunakan nama yang sama atau hampir sama dengan merek yang sudah ada sebaiknya mengganti nama tersebut agar tidak menimbulkan permasalahan yang nantinya akan merugikan mereka sendiri. Memang sulit untuk mengubah suatu nama atau merek, tetapi apabila hal tersebut demi kebaikan di masa yang akan datang, mengapa tidak? Selain itu, pihak-pihak yang memiliki usaha sebaiknya mendaftarkan merek dagang mereka dengan segera agar tidak terjadi perebutan merek dagang dan menimbulkan kerugian bagi masing-masing pihak.


Sumber: